Desakralisasi Hijab
dalam Iklan ‘Sunsilk’ Hijab Recharge
Oleh : Lastri
Perkembangan teknologi melahirkan media
baru yang dapat menyajikan informasi secara cepat kepada masyarakat yaitu
televisi. Televisi merupakan media massa yang digunakan untuk menyampaikan
informasi dan memberitahukan hal-hal penting bagi masyarakat, televisi juga
memiliki peran penting dalam realitas sosial seperti saat ini.
Namun, saat ini media mengalami
pergeseran fungsi yaitu ketika media tidak lagi memberikan pesan yang
berorientasi pada public needs melainkan
hanya berorientasi pada public wants.
Dalam konteks media massa, televisi lambat laut menjadi sarana pertukaran nilai
guna menjadi nilai tukar atau disebut komodifikasi. Komodifikasi merupakan
bentuk transformasi hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya
diperdagangkan menjadi hubungan yang bersifat komersil.
Televisi memiliki berbagai macam
program, salah satu program televisi yang berdampak langsung bagi masyarakat
adalah iklan. Menurut Duran dan Darban (1978), iklan merupakan bentuk kegiatan
komunikasi non personal yang
disampaikan lewat media dengan membayar ruang yang dipakai untuk menyampaikan
pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada konsumen oleh perusahaan,
lembaga non komersial, dan pribadi yang berkepentingan.
Pada
Oktober 2015, Survei Global Nielsen mengenai kepercayaan terhadap Iklan di Asia
Tenggara menyebutkan bahwa televisi, majalah, dan koran masih termasuk dalam
media iklan berbayar yang paling dipercaya konsumen di Asia Tengggara. Hampir
delapan dari sepuluh konsumen Indonesia (79%) percaya pada iklan televisi.
Kepercayaan bangsa ini terhadap iklan televisi bahkan mengungguli Thailand
(78%), Filipina (75%), Vietnam (69%), dan Malaysia (63%). Semua negara itu
berada di atas atau konsisten dengan rata-rata global yang sebesar 63%.
Proses transformasi nilai guna menjadi
nilai tukar juga terjadi pada iklan. Proses komodifikasi iklan ini dilakukan
oleh para produsen untuk memperoleh keuntungan yang didapat dari hasil
mempengaruhi konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Salah satu iklan
yang menggunakan daya tarik hiijab adalah iklan ‘Sunsilk’ Hijab Recharge. Seperti kita ketahui bahwa
salah satu ciri khas berpakaian seorang muslim adalah menggunakan hijab. Dalam
hal ini, hijab yang semestinya sakral dalam nilai agama akan tetapi menjadi
nilai tukar untuk mendapatkan keuntungan dari media televisi.
‘Hijab’ sebagai
Inovasi ‘Sunsilk’ Recharge
Metamorfosis tren hijab dari zaman
sebelum Islam berjaya sampai pada era modern seperti saat ini mengalami
perkembangan pesat. Pada tahun 1980-an penggunaan hijab masih terbatas. Bahkan
pernah ada larangan semua siswi muslim menggunakan hijab ke sekolah oleh
Depdikbud, banyak pihak yang masih memandang sebelah mata pada mereka yang
berkerudung karena dianggap kuno dan fanatik. Seiring berjalannya waktu, pada
tahun 90-an perkembangan hijab khususnya di Indonesia terus mengalami kemajuan
baik dari segi pakaian, model hijab, aksesoris sampai dengan kreasi hijab biasa
menjadi terlihat keren dan trendy.
Tahun 2016 ini, hijab sedang booming di kalangan muslimah Indonesia.
Baik kalangan masyarakat ekonomi atas ataupun menengah ke bawah. Sehingga dapat
menarik konsumen yang beragama Islam dan dapat memberikan keuntungan besar bagi
produsennya. Hal ini, menjadi
keberanian iklan ‘Sunsilk’ Hijab Recharge
menggunakan hijab sebagai daya tarik masyarakat.
Sampo ‘Sunsilk’ Hijab Recharge merupakan terobosan produk baru
dari PT. Unilever Indonesia didukung dengan adanya brand ambassador yang menggunakan style hijab masa kini
yaitu Carla Rizki seorang atlet Taekwondo. Sebelum ‘Sunsilk’ menciptakan
terobosan baru berupa ‘Sunsilk’ Hijab Recharge,
Sunsilk menguji keberanian pertama menggunakan brand ambasadore berhijab dalam iklan ‘Sunsilk’
Clean & Fresh yang memiliki
beberapa versi, yaitu ‘Sunsilk’ Clean and
Fresh versi Laudya Cinthya Bella dan versi juara ‘Sunsilk’ Hijab Hunt 2015
(Bela Almira, Ninda Putri Laili, dan Devi Handayani).
Indonesia
sebagai negara tropis, mungkin menjadikan orang merasa gerah dengan hijabnya
apalagi masyarakat muslim Indonesia dengan rasio perempuan lebih banyak dibandingkan
laki-laki. Hal ini yang mendasari ‘Sunsilk’ Hijab Recharge mencoba menggunakan brand
ambassador menggunakan hijab sebagai suatu inovasi baru. Sedangkan iklan sampo
lain biasanya menghadirkan brand ambassador
seorang perempuan cantik dengan rambut
panjang, hitam, dan lebat. Hal ini tentu saja bertolak
belakang dari hakikat produk perawatan rambut. Namun, hal ini juga yang dapat
menimbulkan ketertarikan konsumen khususnya konsumen muslimah pada produk
tersebut.
Industrialisasi
Media
Media
sebagai aparatus tempat beroperasinya pengetahuan. Sebagai aparatus, media memiliki
dan menjalankan ideologi tertentu. Media telah beralih dari ruang kuasa negara
menjadi ruang kompetisi pasar. Media tidak lagi menjalankan kebijakan negara,
namun berorientasi pada pemilik modal yang menggerakkan aktivitas media pada
komersialisasi.
Program
media sendiri berkiblat pada tingkat rating
dan share. Hal ini yang mendasari
komodifikasi agama beredar dimana-mana, salah satunya komodifikasi hijab dalam
iklan ‘Sunsilk’ Hijab Recharge. Menurut
Minkler dan Cosgler (2004), konsumsi religius merupakan salah satu sarana
efektif untuk mengekspresikan identitas seseorang. Setiap agama memiliki norma
yang berimplikasi pada konsumsi atas suatu produk tertentu, termasuk Islam.
Misalnya, dalam Islam disebutkan bahwa seorang muslimah wajib menutup auratnya
maka diciptakan produk yang mengandung unsur representasi perintah keislaman.
Hal
ini lantas mengharuskan perlunya strategi marketing
yang efektif dalam proses pemasaran suatu produk. PT Unilever dengan produk
sampo ‘Sunsilk’ menggunakan istilah ‘hijab’ sebagai salah satu strategi marketingnya. Iklan Sunsilk Hijab Recharge menggunakan brand ambassador yang memiliki nilai
inspiratif dan notabene menggunakan hijab, yaitu Carla Rizki seorang atlet
Taekwondo.Visualisasi yang ditampilkan mengandung nilai inspirasi karena
aktivitas latihan Taekwondo Carla Rizky yang tidak terganggu meskipun dia
memakai hijab, hal ini dapat membangun rasa percaya diri pada konsumen terutama
kaum perempuan bahwa hijab bukanlah
penghalang seseorang untuk beraktivitas.
Namun
dibalik nilai inspirasi juga terdapat nilai komodifikasi agama. Carla Rizky
sebagai brand ambassador dalam iklan
tersebut digunakan untuk membangun citra positif dan daya tarik konsumen
terhadap produk ‘Sunsilk’ Hijab Recharge.
Apalagi Carla Rizky adalah seorang atlet Taekwondo yang memakai hijab,
aktivitasnya memerlukan banyak tenaga
dan mengeluarkan banyak keringat sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan
pada kulit kepala. Kemudian
media menyampaikan realitas media melalui visualisasi yang ditampilkan, seorang
hijabers sekaligus atlet Taekwondo
tetap bebas beraktivitas dan latihan tanpa terganggu kulit kepalanya dengan
memakai produk sampo ‘Sunsilk’ Hijab Recharge.
Hal ini menggambarkan realitas sekaligus mendefinisikan kemauan dan keinginan
konsumen.
Ketidaknyamanan pada kulit kepala umumnya
dirasakan oleh kalangan perempuan terutama yang memakai hijab. Hal inilah yang
kemudian menjadi berkah bagi perusahaan ‘Sunsilk’ karena produk terbarunya
yaitu Sunsilk Hijab Recharge hadir
dengan sasaran utamanya yaitu kalangan perempuan berhijab, karena pastinya
mereka akan mencari produk yang cocok untuk kesehatan rambutnya. Istilah
‘Hijab’ ini menjadi atribut utama untuk menjadikan produknya sebagai bagian
dari ritual keagamaan konsumen muslim dan sebagai alat jual produk.
Sunsilk ‘Hijab’ Recharge mencoba hadir sebagai produk bernuansa islami dengan brand ambasadore dan juga istilah
‘Hijab’ yang melekat. Target konsumen dari produk ini adalah konsumen kelas
menengah yang sedang berusaha mengekspresikan identitas keislamannya. Adanya moral panic atau kecemasan atas
hilangnya tatanan moral yang selama ini mereka yakini, mengakibatkan mereka
mencoba mencari solusi persoalan tersebut, dan lewat konsumsilah mereka dapat
menemukan kembali identitas keislamannya.
Konsumerisme juga terjadi dalam masyarakat
yang memformulasikan tujuan hidupnya dengan memiliki barang-barang yang
sebenarnya tidak mereka butuhkan. Kemudian konsumsi atas produk tertentu
akhirnya menjadi simbol identitas mereka. Dalam konteks ‘Sunsilk’ Hijab Recharge, narasi yang diungkapkan oleh Carla
Rizky yaitu, “Aku butuh kepala yang segar
untuk bisa tampil sempurna” kalimat ini seakan-akan memberikan pemahaman bagi
konsumen bahwa penampilan yang sempurna salah satu penyebabnya adalah kepala
yang segar. Sehingga budaya konsumerisme akan muncul terhadap produk sampo ‘Sunsilk’
Hijab Recharge sebagai budaya sosial
yang setiap saat dibutuhkan oleh konsumen, dan menjadikan suatu konstruksi
media terhadap produk tersebut.
Budaya konsumerisme akan semakin melekat
karena narasi dari Jamal Hammadi seorang pakar bahan alami, “Untuk perempuan aktif seperti Carla, kami
ciptakan sampo Sunsilk pertama...”ungkapnya. Pernyataan tersebut sebagai
dominasi terhadap konsumen atas produk ‘Sunsilk’ Hijab Recharge dan meningkatkan nilai jual produk tersebut. Apalagi saat
ini banyak aktivis perempuan berhijab, sehingga semakin tinggi daya tarik
konsumen terhadap produk.
Semiotika Hijab
Ada
beberapa dimensi khusus pada sebuah iklan yang membedakan iklan secara semiotik
dari objek-objek desain lainnya, yaitu setiap iklan terdapat beberapa simbol
dan tanda yang digunakan dan dapat dimaknai. Penggunakan simbol dan tanda ini
berdasarkan pada tujuan yang ingin diraih dari iklan produk tersebut.
Analisis
Semiotika Roland Barthes, mengenai bagaimana manusia memaknai hal-hal dari segi
kostum, narasi (teks) dan adegan. Dalam iklan ‘Sunsilk’ Hijab Recharge terdapat pesan-pesan tersembunyi dari iklan tersebut.
Makna kostum yang digunakan menunjukkan citra produk tersebut sebagai sampo
yang dapat mengatasi masalah kesehatan rambut bagi perempuan berhijab karena berhijab
akan membuat ketidaknyamanan pada kulit kepala. Makna pada adegan menunjukkan
aktifitas sehari-hari perempuan berhijab. Makna narasi (teks) menunjukkan bahwa
orang yang berhijab akan memilik masalah kesehatan rambut dan ‘Sunsilk’ Hijab Recharge adalah solusinya. Hal ini
menyatakan adanya ideologi kapitalisme yang dimanfaatkan oleh kaum kapitalis
atau pemilik modal dengan ekonomi politiknya untuk meraup keuntungan demi
meningkatkan angka penjualan.
Kesimpulan
Perkembangan zaman dan kehadiran teknologi mendorong
manusia untuk melakukan segala sesuatunya dengan serba cepat, maka tak ayal
kebutuhan manusia pun ikut bergeser dari tradisional menjadi konvensional dan
dari kebutuhan primer menjadi kebutuhan prestise. Terlepas dari tren hijaber atau strategi marketing, tidak seharusnya sebuah
esensi agama dijadikan sasaran atau dilibatkan dalam rangka mendapatkan
keuntungan.
Dalam konteks iklan ‘Susilk’ Hijab Recharge¸ terdapat adanya komodifikasi
konten dan komodifikasi khalayak. Komodifikasi konten ini berdasarkan dari
hijab dan brand ambassador yang
digunakan dalam iklan, sedangkan komodifikasi khalayak berdasarkan pada konsumen
muslim di Indonesia dengan rasio perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Agama dijadikan sebagai
konten media, dan pemeluk agama Islam telah dijadikan sebagai pasar. Seperti
bentuk komodifikasi-komodifikasi yang lain, agama telah menjadi sebuah gaya
hidup. Akibatnya pesan-pesan agamanya sendiri yang lebih penting menjadi
diabaikan. Jadi bisa dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan komodifikasi adalah saat dimana suatu nilai, budaya,
kebenaran, originalitas atau autentisitas dijadikan sebagai sesuatu yang dapat
dijual alias menghasilkan profit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar