Senin, 24 Oktober 2016

Gender

Konstruksi Sosial “GENDER”
Saat ini,’Gender’ telah memasuki perbedaharaan kata disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembagunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir disemua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan dikalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Lantas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu?
“Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do (West and Zimmerman, 1987) –something we perform”. (Butter :1990)
Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggungjawab perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender berbeda dengan jenis kelamin biologis (seks). Seks ini bersifat kodrati (tidak dapat diubah) sedangkan gender merupakan konstruksi sosial yang bersifat non kodrati (bisa berubah).
Gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita menjadi jalan maskulin dan feminin pada kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai script yang kemudian diikuti oleh anggota masyarakat lainnya. Sejak dari usia bayi hingga mencapai usia tua, kita mempraktikkan cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan, sehingga muncul peran yang seperti halnya kostum dan topeng dalam pertunjukan teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin dan maskulin. Perangkat perilaku khusus ini mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja didalam dan diluar rumah tangga, seksualitas, tanggungjawab keluarga secara bersama-sama memoles “peran gender” kita. (Julia Cleves Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan)
Gender diffences disebabkan oleh beberapa hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural.
“Gender refers to the set of characteristics distinguishing between male and female,  particularly in the cases of men and women. It differentiates between men and women of cultural origin, that is, it is a social construct, which isa matter of nurture since culturea differ as well as the expectations and rules for male and female, which are grounded in the biological and anatomical distinction”. (Nina Rosestand, 2002, “The Human Condition An Introduction to Philosophy of Human Nature)
Dalam pemikiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensial abad ke-20 apa yang dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi” dikonstruksi sosial (one is not born, but rather becomes a woman). Hal-hal yang selama ini berbau perempuan,seperti mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat perempuan” padahal itulah yang dalam sejarah ini dikonstruksi secara sosial atas dominasi-dominasi kekuatan dan kekuasaan maskulin.
Karena selama ini produk sejarah melahirkan bahwa yang kuat kemudian diagungkan,  maka mengakibatkan perempuan yang secara fisik tidak setegar laki-laki menjadi termaginalisasikan dari sektor “persaingan budaya”. Dalam proses sosialisasi dikemudian hari, hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan maskulin atau apa yang kemudian disebut dengan sistem “patriaki”.
Dalam pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai pengalaman hidup, menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan ketrampilan. Gender dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan bergerak. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya. (Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”)

Thi.. (Yogyakarta, 04 Oktober 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar