Konstruksi
Sosial “GENDER”
Saat ini,’Gender’ telah
memasuki perbedaharaan kata disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan
sosial dan pembagunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir disemua
uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan dikalangan
organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Lantas apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu?
“Gender
is not something we are born with, and not something we have, but something we
do (West and Zimmerman, 1987) –something we perform”. (Butter :1990)
Gender adalah perbedaan
peran, fungsi dan tanggungjawab perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender berbeda
dengan jenis kelamin biologis (seks). Seks ini bersifat kodrati (tidak dapat
diubah) sedangkan gender merupakan konstruksi sosial yang bersifat non kodrati
(bisa berubah).
Gabungan blok-blok
bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita menjadi
jalan maskulin dan feminin pada kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai script yang kemudian diikuti oleh
anggota masyarakat lainnya. Sejak dari usia bayi hingga mencapai usia tua, kita
mempraktikkan cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk
menjadi laki-laki dan perempuan, sehingga muncul peran yang seperti halnya
kostum dan topeng dalam pertunjukan teater, menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminin dan maskulin. Perangkat perilaku khusus ini mencakup
penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja didalam dan diluar rumah
tangga, seksualitas, tanggungjawab keluarga secara bersama-sama memoles “peran
gender” kita. (Julia Cleves Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan)
Gender
diffences disebabkan oleh beberapa hal diantaranya dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural.
“Gender refers to the set of
characteristics distinguishing between male and female, particularly in the cases of men and women. It
differentiates between men and women of cultural origin, that is, it is a
social construct, which isa matter of nurture since culturea differ as well as
the expectations and rules for male and female, which are grounded in the
biological and anatomical distinction”. (Nina Rosestand, 2002,
“The Human Condition An Introduction to Philosophy of Human Nature)
Dalam
pemikiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensial abad ke-20 apa yang
dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi” dikonstruksi sosial (one is not born, but rather becomes a woman).
Hal-hal yang selama ini berbau perempuan,seperti mendidik anak, mengelola
dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering
dianggap sebagai “kodrat perempuan” padahal itulah yang dalam sejarah ini
dikonstruksi secara sosial atas dominasi-dominasi kekuatan dan kekuasaan
maskulin.
Karena
selama ini produk sejarah melahirkan bahwa yang kuat kemudian diagungkan, maka mengakibatkan perempuan yang secara
fisik tidak setegar laki-laki menjadi termaginalisasikan dari sektor
“persaingan budaya”. Dalam proses sosialisasi dikemudian hari, hampir seluruh
aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan maskulin atau apa yang
kemudian disebut dengan sistem “patriaki”.
Dalam
pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai pengalaman hidup, menentukan
akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan
untuk industri dan ketrampilan. Gender dapat menentukan kesehatan, harapan
hidup, dan kebebasan bergerak. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan
kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa
jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi
apa nantinya. (Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”)
Thi..
(Yogyakarta, 04 Oktober 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar